Pelangi Putih
Karya Leci Seira
Tampaknya langit menolak bersahabat dalam waktu singkat.
Pantulan warna kelabu hampir memenuhi seisi kota. Gemuruh pun sudah berulang
kali memperdengarkan keperkasaannya di balik mega. Belum lagi curahan kesedihan
dari langit yang semakin lama semakin bertambah intensitasnya.
Di sebuah halte bus, seorang gadis remaja
tengah melenguhkan napas beberapa kali. Air mukanya kesal karena mendapati
dirinya terjebak di sana. Karena ia bangun kesiangan hari ini, ia terpaksa
terjebak hujan di halte itu dan sepertinya harus melewati kelas pertamanya. Ia
mengalihkan pandangannya pada ponsel ditangannya. Berharap ada pesan masuk atau
apapun yang mengabarkan bahwa perkuliahan hari ini dibatalkan karena hujan
deras. Namun, siapa yang peduli itu? Selama dosen bisa datang, maka mahasiswa
tidak bisa memutuskan seenaknya.
Perut gadis itu tiba-tiba berbunyi. Ia
melirik arlojinya, lalu dahinya mengerut sembari menghela napas. Sudah pukul
delapan pagi. Ia baru ingat bahwa ia belum sarapan. Ia merogoh tas ransel
birunya dan mencari sebungkus roti kacang kesukaannya yang ia beli kemarin
malam bakal sarapan hari ini.
Baru saja hendak dilahapnya roti itu, seorang
nenek tiba-tiba turut berteduh di halte itu. Badannya telah kuyup. Ia bahkan
tak mengenakan alas kaki atau payung. Gadis itu sesaat melirik ke arah nenek
yang tubuhnya sedikit bergetar akibat hawa dingin yang membalutnya itu. Namun
beberapa detik kemudian matanya kembali acuh.
Baru lagi ia hendak menyuapkan roti itu ke
mulutnya, ia kembali dikejutkan oleh nenek itu yang tiba-tiba saja mengorek
tong sampah yang berada tak jauh dari sana. Nenek itu kembali ditimpa hujan,
namun ia tetap gigih mengais tong sampah itu. Berharap dapat menemukan sesuatu
yang dapat mengenyangkan perutnya. Cukup lama ia berkutat dengan setumpuk
sampah di sana, hingga akhirnya ia menemukan kantong plastik berisikan nasi
bungkus sisa kemarin atau tempo hari yang dibuang oleh seorang pejalan kaki
atau supir bus.
Wajah nenek itu berubah cerah. Seolah baru
saja menemukan sebuah harta karun yang dapat menjadikannya manusia terkaya di
dunia. Perlahan ia melangkahkan kakinya kembali menuju halte itu. Berharap
sedikit kehangatan bisa ia dapatkan karena terhalang hujan dan nasi yang
meredakan laparnya. Tanpa sadar, gadis itu masih terus memperhatikan nenek itu.
Matanya berubah sendu tiba-tiba saja.
Nirina, biasa orang-orang memanggilnya. Ia
bukan seorang gadis yang memiliki hidup bahagia seperti kebanyakan orang
lainnya. Kepahitan hidup yang selama ini dihadapinya membuatnya tak pernah
peduli akan kehidupan orang-orang di sekitarnya. Hampir setiap hari, ia
menemukan hal-hal buruk terjadi di sekitarnya, bukan hanya hari ini.
Orang-orang yang berpura-pura sakit untuk mengemis, pencopet yang bergerilya di
depan matanya, preman yang memaksa para pedagang kaki lima untuk membayar uang
keamanan, anak-anak kecil yang dipaksa mengamen, ataupun pelecehan seksual yang
dilihatnya saat ia di dalam bus. Semua itu bukan lagi hal yang tabu baginya.
Namun hari ini, entah karena apa, hatinya begitu gundah saat melihat seorang
nenek mengais tong sampah demi mendapatkan sesuap nasi sisa kemarin.
Nenek itu membuka bungkus nasi itu dengan
wajah berbinar. Tersirat kebahagiaan dari matanya melihat setumpuk nasi yang
cukup untuk mengganjal perutnya yang kosong sejak kemarin. Meski nasi itu sudah
basi dan basah tertimpa hujan, namun ia tak mempedulikan kenyataan pahit yang
tempampang jelas di hadapannya. Suapan pertama ia sambut dengan senyuman. Namun
di sisi lain, Nirina justru merasa pilu melihat senyuman itu. Batinnya terus
bergejolak akan hal yang harus dilakukannya. Menolong nenek itu bukanlah
kewajibannya, namun membiarkannya memakan nasi sisa juga bukanlah
prinsipnya.
"Nek .... " ucapnya akhirnya.
"Ini, saya ada roti. Nenek makan aja. Jangan makan nasi itu lagi. Itu kan
udah basi."
Nirina memberikan rotinya pada nenek itu.
Dengan ragu tangan nenek itu meraih roti pemberian gadis yang masih asing di
matanya. Lalu nenek itu meletakkan telapak tangannya di depan bibirnya, lalu
menggerakkannya ke depan selama beberapa kali.
Mata Nirina membulat melihatnya. Ya, nenek
itu seorang tunawicara. Yang baru saja, ia mengucapkan terima kasih. Nirina
mengetahui itu karena pernah melakukan kunjungan di salah satu sekolah luar
biasa di pusat Kota. Hatinya kembali terenyuh setelah mengetahui bahwa nenek
itu bukan hanya seorang tunawisma, namun juga penyandang tunawicara.
"Sama-sama .... " lirihnya nyaris tak terdengar
oleh telinganya sendiri.
Gadis itu memerhatikan nenek yang dengan
lahapnya memakan roti pemberiannya itu. Rasa bahagia timbul dari lubuk hatinya
hingga ia sendiri lupa akan rasa laparnya. Nenek itu pasti jauh lebih lapar
dibandingkan dirinya, hanya itu yang sekarang menggelayuti pikirannya. Melihat
nenek itu, rasa iba yang selama ini nyaris tak pernah muncul di permukaan
hatinya, tiba-tiba saja menghantuinya. Ada perasaan ingin sekali membantu nenek
itu, namun ketika ia bercermin pada dirinya, ia langsung tersadar bahwa hal itu
tidak akan mungkin bisa dilakukannya. Hatinya terasa nyeri, dari ujung matanya
setitik butiran bening mengalir perih.
"Nenek disini setiap pagi?" Nirina
mendekatkan dirinya kepada nenek itu sebelum bicara, khawatir nenek tak dapat
mendengarnya.
Nenek itu tampak mengerutkan dahinya sejenak.
Seolah mencerna perkataan gadis itu. Tak lama kemudian, nenek itu mengangguk.
Tangannya mulai bergerak lagi mengisyaratkan sesuatu. Namun, Nirina sendiri tak
mengerti apa yang dimaksud sang nenek. Meski pernah berkunjung ke sekolah luar
biasa dan berhadapan langsung dengan para tunawicara dan tunarungu, bukan
berarti ia serius dalam mempelajari bahasa isyarat untuk berbicara dengan
mereka, meski ia pernah diajarkan caranya. Saat itu, pertama kalinya Nirina
menyesal karena tak melakukan sesuatu dengan serius.
Tiba-tiba tangis gadis itu pecah. Entah
karena sebab apa ia menangis setelah sekian lama seolah mati rasa akan
hidupnya. Nenek itu memperhatikan gadis baik di sampingnya yang tengah
menangis. Kerutan di wajahnya semakin bertambah saja karena memikirkan penyebab
kesedihan gadis itu.
Nenek itu meletakkan telapak tangannya di
dahinya, lalu membuangnya ke depan. Sejenak, Nirina melirik ke arah nenek. Itu
isyarat yang menanyakan "Kenapa?", batin gadis itu. Selang sedetik
kemudian, nenek itu justru menawarkan roti di tangannya yang tinggal setengah
pada Nirina. Nirina buru-buru menggeleng dan berusaha menjelaskan bahwa ia
menangis bukan karena rotinya.
"Nenek lanjut makan aja." ucapnya
mempersilahkan nenek untuk memakan roti yang tersisa. Nenek itu kembali
menyantap roti di tangannya, meski keragu-raguan sempat tersirat dari tangannya
yang masih berusaha menawarkan roti itu pada Nirina. Namun Nirina terus
meyakinkan pada nenek bahwa nenek itu memang harus menghabiskan rotinya.
Perasaan bahagia menyeruak ke dalam hati
Nirina ketika melihat senyum bahagia nenek yang telah selesai memakan roti
pemberiannya. Nenek itu kembali menggerakkan tangannya, mengisyaratkan sesuatu
yang masih tak dimengerti Nirina. Melihat Nirina yang mengerutkan dahinya,
nenek itu mengerti bahwa Nirina tak memahami maksudnya. Nenek itu berpikir
sejenak, lalu mengarahkan tangannya pada jalan raya di depannya. Menunjuk
rintik hujan yang entah sejak kapan mulai mereda.
Kedua tangan nenek itu diletakkan di depan
dada, lalu diputar ke dalam sebanyak dua kali, lalu dibuang ke samping. Itu
ungkapan 'bahagia'. Nenek itu mengatakan bahwa ia bahagia. Bahagia karena apa?
Mungkin saja karena hujan. Namun tiba-tiba sorot mata Nirina meredup. Perlahan
kedua jari telunjuknya ia letakkan di atas bibirnya lalu ia tarik ke bawah. Itu
adalah ungkapan kesedihan. Nenek itu juga meredupkan pandangannya, sambil terus
memandangi Nirina dengan saksama.
Gadis itu bercerita pada nenek bahwa ia
selalu membenci hujan. Baginya, hujan selalu mengambil kebahagiaannya. Hujan
selalu mengambil orang-orang yang disayanginya. Kedua orang tuanya meninggal
karena kecelakaan lalu lintas di hari hujan. Adik laki-lakinya juga meninggal
karena hanyut di sungai saat hari hujan. Dan masih banyak hal-hal lain yang
dilakukan hujan untuk membuatnya menderita. Itu sebabnya, ia tak pernah
menyukai hujan. Nenek itu merenung sejenak, lalu tiba-tiba matanya berubah
cerah. Tangannya menyentuh pundak Nirina lalu menuntun pandangannya menuju
pelangi yang tergambar sempurna di hadapan mereka saat ini. Entah sejak kapan
hujan berhenti dan menghasilkan pelangi yang indah. Meski sebenci apapun Nirina
pada hujan, ia selalu menyukai pelangi.
Lagi-lagi nenek itu kembali mengisyaratkan
sesuatu dengan tangannya. Sesekali menunjuk pelangi itu dengan senyum merekah.
Nirina masih tak mengetahui makna isyarat tersebut. Namun ia yakin bahwa itu
adalah pesan yang baik dari nenek. Ia tersenyum, entah untuk apa. Mungkin untuk
hari hujan yang mempertemukannya pada nenek, atau untuk kehangatan yang bisa ia
rasakan setelah sekian lama.
Sejak hari itu, setiap pagi Nirina selalu
datang lebih awal ke halte itu dan menunggu nenek di sana. Setiap pagi, ia
membawakan sekantong plastik berisikan sebungkus nasi untuk sarapan nenek, dua
bungkus roti kacang, dan sebotol air mineral ukuran besar untuk persediaan
makanan nenek hingga malam. Ini pertama kalinya ia peduli terhadap hidup orang
lain sampai sepenuh hati membawakan nenek itu makanan setiap hari. Sedikit demi
sedikit ia juga mulai mengerti bahasa isyarat yang sering diisyaratkan nenek.
Entah mengapa hari-harinya terasa begitu berwarna sejak bertemu nenek itu.
Sebelum ini, Nirina bahkan lupa kapan terakhir kali ia bisa tersenyum setulus
ini.
Karena terlalu bahagia, tak terasa hari ini
genap dua minggu sudah sejak pertama kali Nirina bertemu dengan nenek yang ia
anggap sebagai pelangi di hidupnya. Entah kuasa Tuhan atau memang kebetulan
belaka. Langit hari ini sama persis seperti kala pertama ia berjumpa dengan
nenek. Anugerah Tuhan yang tercurah kali ini juga sama seperti saat itu. Hanya
saja yang berbeda, ia tak menemukan nenek yang tengah mengais tong sampah atau
sekadar berteduh di bawah atap halte.
Nirina melirik arlojinya. Sudah pukul delapan
lewat lima menit, tapi masih belum ada tanda bahwa nenek akan segera datang.
Hatinya mulai resah. Entah mengapa sejak sebelum ia sampai di halte, perasaan
resah sudah memeluknya. Tapi wajahnya langsung berubah cerah saat sayup-sayup
ia lihat nenek yang tengah berdiri di ujung jalan hendak menyebrang menuju
halte tempatnya berada. Baru saja ia hendak melangkah untuk membantu nenek
menyebrang, tiba-tiba saja sebuah mobil menghantam tubuh nenek yang baru
beberapa langkah menapaki jalan raya. Tubuh nenek terpental dan menghantam
aspal keras sekali. Darahnya menghambur kemana-mana. Nenek diam tak bergerak
sama sekali, sedang Nirina masih membeku melihat kejadian yang begitu cepat
terjadi di matanya. Ia masih belum bisa mencerna segalanya, namun air matanya
sudah merebak di seluruh wajahnya. Tubuh gadis itu seperti baru saja disiram
air es, dingin dan kaku. Ia menatap nanar tubuh nenek yang bersimpah darah di
atas jalan raya. Darahnya turut mengikuti alir air hujan menuju selokan, atau
beberapa menggenang disana. Orang-orang mulai mengerumuni nenek, beberapa ada
yang berusaha memanggil ambulans. Hati Nirina kosong, sama seperti tatapannya.
Hari ini, hujan kembali mengambil seseorang yang berharga dalam hidupnya.
Lantas, tidak bolehkan ia kembali membenci hujan?
Satu minggu setelah kepergian nenek, hati
gadis itu masih terasa nyeri. Terlebih lagi, hari ini ia harus kembali terjebak
hujan di halte bus tempat ia biasa bertemu nenek dan merajut bahagia. Dan
tempat yang sama pula dimana ia melihat nenek pergi dari hidupnya dengan
matanya sendiri. Bersimpah darah, namun ia tak dapat membantu apa-apa. Untuk
kali pertama, ia merasa bahwa hidupnya tidak bisa diandalkan bagi siapa-siapa.
Bahkan untuk menjaga seorang nenek saja ia tak mampu. Hari ini, Nirina membolos
mata kuliah tanpa rasa bersalah. Hanya duduk diam meratapi jalanan yang mulai
tergenang air anugerah Sang Ilahi. Satu jam, dua jam. Ia diam tak bergeming.
Sampai hujan mulai mereda di jam kesekian. Matahari mulai menampakkan diri
malu-malu. Menunjukkan cahayanya yang masih samar ditutupi mega kelabu.
Tercetak pelangi di hadapannya, yang kembali mengingatkannya pada nenek yang
disayanginya.
Ia menangkat wajahnya. Menatap pelangi itu
lekat-lekat. Sorot matanya redup dan sayu. Entah karena kesedihan atau mungkin
karena rasa kesepian. Ia melihat wajah nenek di pelangi itu. Tengah tersenyum
sembari mengatakan, "Bahkan setelah badai besar sekalipun, akan selalu ada
pelangi yang mengakhirinya."
Ia terperanjak dari bangku halte itu. Apa
yang baru saja ia lihat memang hanya sebuah khayalannya. Namun suara nenek yang
mengatakan itu, terasa begitu nyata tertangkap oleh telinganya. Seolah memang
itulah pesan yang pernah disampaikan nenek saat ada pelangi waktu itu.
Nirina melangkah ke TPU Umum yang tak jauh
dari halte. Di sini, tempat nenek beristirahat untuk terakhir kalinya. Ia
meletakkan setangkai mawar putih yang ia beli saat perjalanan ke sini. Matanya
menatap nanar nisan kayu yang bertuliskan kata 'Nenek' di sana. Tak ada yang
tahu siapa nama asli seorang lansia tunawisma itu. Kenyataan itu juga yang
hingga kini masih mengiris hatinya. Ia hanya diam seribu bahasa. Bukan karena tak
ada yang ingin diucapkannya. Namun ia bingung harus berucap mulai darimana.
Hanya butiran bening saja yang terus mewakili perih hati dan pilunya.
Hari ini gadis itu menyadari, pernah ada
sebuah pelangi yang Tuhan kirimkan untuk membuat harinya lebih berwarna. Meski
tak lama kemudian pelangi itu menjelma menjadi putih di nirwana. Ya. Bagi
seorang gadis sebatang kara sepertinya, kehadiran nenek telah menjadi pelangi
putih yang akan selalu ia kenang selama hidupnya.
~Tamat ....
Komentar
Posting Komentar