Langsung ke konten utama

Tuhan, Aku Merindukannya - Senandika Rindu

Hai, Fer. Aku rindu. Namun, sepertinya hingga kini aku masih tak bisa menitipkan rinduku untukmu. Tak apa. Sekarang aku sudah baik-baik saja. Lihat, aku sudah bisa tersenyum. Baiklah, maaf. Aku tahu, kesedihan ini masih kupendam sendirian. Kukubur dalam-dalam agar tak seorang pun mengetahuinya. 

Kau tahu? Aku tak ingin membuatmu bersedih. Aku tak ingin membuatmu terluka. Setidaknya ... tidak lagi setelah kau pergi. 

Aku sangat ingin membagikan kisah ini pada dunia, tapi ... hei. Aku tak tahu entah harus dari mana kisah ini dimulai. Bagiku, sejak kepergianmu, kisah ini sudah berakhir. Tak ada lagi yang tersisa. Tak ada lagi yang harus aku katakan. Kau tahu? Seberapa sesak rindu yang selama ini menghinggapi dadaku? 

Hei, Fer. Aku masih ingat senyum yang kau sunggingkan malam itu. Indah sekali. Rasanya, jika saja aku tahu kau akan pergi, aku tak akan pernah lepas dari senyum itu. Akan aku simpan rapat-rapat dalam memoriku. Agar aku tak akan pernah melupakannya. Jika saja aku tahu kau akan pergi, malam itu tak akan kulepaskan pandanganku dari wajahmu. Agar aku bisa menyimpan setiap detailnya rapat-rapat dalam ingatanku. Agar jika aku merindukanmu seperti saat ini, aku cukup memejamkan mataku. Lalu wajahmu, akan dengan jelas tergambar di pelupuk mataku.

Kau tahu? Sejak malam itu, aku takut dengan hujan. Padahal, aku sangat menyukai aroma tanah basah, kau pasti tahu itu dengan pasti. Namun, sejak kepergianmu, bagaimana aku bisa menikmati aroma itu lagi? Tiap kali hujan turun, yang hadir bersama angin selalu ingatan buruk tentang kepergianmu. Aroma tanah basah yang tadinya menenangkanku, entah mengapa berubah menjadi anyir darah yang menusuk hatiku. 

Kau tahu? Hingga kini bayang-bayangmu masih saja menghantuiku. Betapa aku ingat dulu kau yang paling sering membuatku tertawa dengan sikap konyolmu. Betapa kau rela pulang larut, nyaris saat hari berganti malah, demi mengantarkanku hingga di depan rumah. Betapa kau yang tak pernah berhenti tersenyum dan membagikan kebahagiaan terhadap orang di sekelilingmu. 

Hei, Fer. Aku benar-benar merindukanmu. Kau ingat saat pertama kali kau berkata sudah lama mengenalku? Bahkan jauh sebelum pertemuan pertama kita kala pertama masuk kuliah. Apa yang kau katakan begitu mengejutkan bagiku. Dan karena perkataanmu pulalah, aku menyadari. Ternyata, meski bumi Allah seluas ini, aku selalu dipertemukan dengan orang-orang yang sejatinya dekat denganku. Dan Allah, pasti telah punya rencana di balik setiap pertemuan, dan ... perpisahan.

Hei, Fer. Kau tahu, apa yang membuatku masih bersedih hingga sekarang? Bukan. Bukan karena kepergianmu yang tanpa kata perpisahan. Namun, karena aku yang tak mampu menjadi temanmu lebih cepat. Ya. Aku tak beruntung seperti mereka yang bisa mengenalmu dan dekat denganmu lebih cepat. Aku baru bisa menjadi temanmu pada masa-masa akhir hidupmu. Bukankah itu sebuah penyesalan yang teramat menyakitkan bagiku?

Kau tahu? Aku masih ingat setiap kata yang kau ucapkan malam itu. Aku ingat setiap mimpi yang kau lukiskan malam itu. Aku ingat setiap tawa yang kau hadirkan malam itu. Bahkan, aku masih ingat setiap hal yang terjadi malam itu. 

Maafkan aku. Aku mohon maafkan aku. Jika saja aku bisa menjadi teman yang baik untukmu, mungkin penyesalanku tak akan sebesar ini. Mungkin kesedihanku tak akan selarut ini. Mungkin rasa kehilanganku tak akan sedalam ini. Mungkin lukaku tak akan semenyakitkan ini. 

Sungguh, ingin sekali aku menyampaikan rinduku pada bait-bait doa. Kau tahu, bukan? Cara terbaik menyampaikan kerinduan adalah melalui doa. Namun, kau juga tahu betul, aku tak bisa melakukannya. Maafkan aku. Ada sebuah tembok yang tak dapat aku lewati. Ada sebuah tembok yang tak bisa aku jangkau. Bukan ... bukan tak bisa. Namun, aku tak diperbolehkan untuk menjangkaunya. Bahkan, mendekatinya saja pun aku tak diizinkan. 

Namun, kau tak perlu khawatir. Namamu tetap masih ada di hatiku. Di hati kami semua. Kau tahu, apa yang membuatku bertahan hingga saat ini? Yang membuatku mampu berjuang melawan kesedihanku? 

Kau. Kau dan semua semangatmu. Kau dan semua kenangan yang kau ciptakan. Kau dan semua tawa yang kau berikan. 

Hei, Fer. Berbahagialah di sana. Namamu masih terukir indah di hati kami semua. Tak pernah berpindah sedikit pun meski kau telah tiada. Maafkan aku. Aku masih sering menangis ketika rindu tiba. Entah mengapa, rindu bagaikan cambuk yang selalu siap kembali mengoyak hatiku. Dan yang lebih menyakitkan, aku baru menyadari pentingnya kehadiranmu setelah kau tak lagi di sisiku. 

Ya. Aku memang jahat. Tak pernah bersyukur atas orang-orang yang telah Allah pertemukan padaku. Namun, kepergianmu mengajarkanku, bahwa seseorang hanya akan mengerti arti rasa syukur setelah ia merasakan kehilangan. Dan, sungguh ... aku tak mau merasakan itu lagi untuk yang kedua kalinya, Fer. Sekarang, sebisa mungkin aku akan menghargai orang-orang yang Allah izinkan untuk dipertemukan atau diperkenalkan denganku. Berusaha menjadi teman terbaik bagi mereka, membantu, dan menyayangi serta mendukung mereka dengan sepenuh jiwa. 

Fer, aku sudah berubah, kan? Aku teman yang baik, kan? Maaf, aku menangis lagi. Itu karena kau mencipta terlalu banyak kenangan saat masih di sini. Ingin sekali aku kirimkan surat rinduku untukmu. Namun, adakah yang bisa menyampaikannya padamu yang telah berada di langit yang tinggi di sana? Aku tahu, pasti tidak. 

Fer, aku merindukanmu. Aku pasti akan menjaga diriku baik-baik. Aku pasti akan menjadi sumber tawa bagi orang lain. Aku pasti akan menghargai dan menyayangi orang-orang di sekitarku dengan tulus. Kau percaya aku, kan? Terima kasih. 

Fer, selamat jalan. Namamu, akan selalu menjadi nama yang tak pernah kulupakan selama hidupku. 






Stabat, 04 Agustus 2020 🍒
~Leci Seira 💞


#SenandikaRindu

Komentar

  1. Allahuakbar, saya tersentuh. Semoga temanmu diberi yang terbaik di sana. Terima kasih sudah menulis ini

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tujuh Alasan Kenapa Saya Menulis. Kalau Kamu Bagaimana?

Assalamu'alaykum penulis-penulis hebat.. Wah ... ini perdana saya nulis blog loh, hihi :D Semoga tulisan saya bisa bermanfaat bagi teman-teman semuanya ya :) Aamiin.. Hari ini, saya akan membahas mengenai "7 Alasan Kenapa Saya Menulis." Nah, teman-teman disini pernah gak sih, mikirin alasan kenapa kita harus menulis? Pengin nulis, tapi gak punya alasan kuat untuk memulainya. Kalau pernah, hari ini saya akan kasih tau alasan kuat kenapa kita sebagai manusia harus menulis. Ini alasan saya lho, kalau teman-teman mau jadikan bahan renungan, Alhamdulillah banget. Tapi kalau temen-temen gak setuju, itu hak temen-temen ya. Hehe.. Ikuzo... 1. Berdakwah Lewat Tulisan     Jujur saja, sampai sekarang, ini menjadi alasan terkuat saya kenapa menulis. Saya sangat ingin menebarkan kebaikan melalui tulisan-tulisan saya. Saya bukanlah orang yang bisa memberikan motivasi secara langsung, atau menebarkan kebaikan secara langsung (terkadang juga bisa sih, hehe). Hanya saja, ket

Ya Allah. Aku Iri. Aku Cemburu

 Ya Allah. Aku Iri. Aku Cemburu  Oleh : @leciseira  Setiap kali aku melihat banyak orang yang selalu sanggup berlama-lama berinteraksi dengan Al-Qur'an, aku selalu cemburu. Aku iri. Mengapa aku tak bisa menjadi seperti mereka? Mengapa aku selalu malas melakukannya?  Setiap kali aku melihat banyak orang yang mampu konsisten menutup auratnya, aku selalu iri. Aku cemburu. Mengapa rasanya sulit sekali bagiku untuk melakukannya? Padahal, jauh di dalam lubuk hatiku, aku pun ingin melakukannya. Namun, selalu ada bagian dari hatiku yang seolah memberontak. Meski pemberontakan itu sudah berhasil aku kalahkan pun, selalu ada pihak yabg membuatku tak bisa menutup aurat dengan sempurna. Ya Allah, sesulit inikah jalan hijrahku?  Aku iri. Aku cemburu. Dengan banyak hati yang mampu menjaga kesuciannya. Sedangkan aku masih suka memendam perasaan yang tak seharusnya. Masih suka mengizinkan diriku jatuh cinta terlalu dalam selain pada-Nya.  Ya Allah. Aku cemburu. Aku iri. Mengapa sulit sekali menjad

"Jaga Lidahmu!" Hati-hati Membunuh Orang Lain dengan Perkataan!

"JAGA LIDAHMU!" Pernah denger kan, kutipan yang mengatakan bahwa "Lidah itu lebih tajam daripada pedang." Yap, itu bener. Bener banget  malah. Jadi, itu sebabnya kita mesti jaga lidah kita. Supaya nggak nyakitin hati orang lain! Lah, kok gitu? Iya! Karena, kita nggak akan pernah tau, sejauh mana perkataan kita bisa menyakiti hati orang lain. Kita nggak akan pernah tau, sejauh mana perkataan kita bisa membunuh mimpi orang lain. Dan kita nggak akan pernah tau, sejauh mana perkataan kita bisa melukai perasaan orang lain. Hei, nggak semua orang punya hati yang kuat! Banyak juga yang hatinya lemah. Yang nggak bisa denger kalimat kasar sedikit aja. Yang nggak bisa denger kritikan secuil aja. Yang nggak bisa denger hinaan sekelebat aja. Ada banyak orang yang hatinya lemah. Yang hatinya mudah terluka. Yang hatinya mudah merasa. Lantas, abis denger kalimat kita, jadi terpuruk, banyak pikiran, bahkan sampai sakit-sakitan. Nah, lho, ngeri, kan? I